Kesehatan Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) telah dinilai berhasil melindungi lebih dari 155 juta
penduduk Indonesia atau sekitar 60 persen dari keseluruhan penduduk di
Nusantara. Namun, BPJS Kesehatan yang merupakan badan yang dipercaya
untuk mengurus program JKN, masih dinilai tidak baik dan tidak efektif
dalam pelaksanaannya di lapangan.
Bisa dilihat dengan banyaknya
pemberitaan mengenai kualitas pelayanan klaim BPJS Kesehatan yang tidak
memuaskan di beberapa rumah sakit. Hal tersebut disebabkan oleh defisit
keuangan JKN. Untuk melindungi 60 persen peserta BPJS Kesehatan, dana
total untuk belanja kesehatan penduduk Indonesia hanya 20 persen saja.
Itu berarti tingkat perlindungan masih
rendah, yaitu hanya sepertiga saja. Tidak heran jika kualitas pelayanan
kesehatan di Indonesia masih buruk. Dr. Togar Sialagan, MM, M.Kes,
Kepala Litbang BPJS Kesehatan mengatakan, kurang maksimalnya pelaksanaan
program ini karena masalah defisitnya anggaran.
"Pemasukan dari iuran setiap tahun sudah
dinaikan, tetapi masih saja terjadi defisit," katanya saat ditemui
diacara 'Diskusi Kaleidoskop Kesehatan 2015, Jaminan Kesehatan dan
Rokok' di Restoran Bunga Rampai, Menteng, Jakarta Pusat. Rabu, 23
Desember 2015.
Ia juga menambahkan salah satu penyebab
terjadinya defisit karena banyak pengguna yang menggunakan rujukan ke
rumah sakit besar untuk masalah kesehatan yang ringan, seperti influenza
dan flu. Menurut Prof. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr. PH selaku Kepala
Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, selain masalah itu, banyak
para pegawai BPJS Kesehatan dan pejabat pemerintah yang tidak
menggunakan JKN. Malahan menggunakan asuransi swasta.
"Harusnya para pejabat pemerintah dan
karyawan BPJS menggunakan JKN, untuk memahami dan mengetahui baik atau
buruknya layanan tersebut," ujarnya saat ditemui di acara yang sama.
Ia menambahkan dengan pemahaman dan
penghayatan, diharapkan dapat membuka mata mereka dan mau mengupayakan
dana yang mencukupi untuk meningkatkan kualitas JKN. Hasbullah juga
memberikan solusi untuk menutupi defisit dari JKN tersebut dengan
menaikan harga dan cukai rokok yang nantinya dialirkan untuk menutupi
defisit dan memperbaiki kualitas JKN.
Pihaknya telah melakukan survei kepada
pengguna BPJS Kesehatan yang merokok. Isinya menunjukkan bahwa kenaikan
harga rokok sebesar 30 persen atau menjadi Rp20.000 per bungkus tidak
akan mengurangi konsumsi masyarakat terhadap rokok.
"Para responden setuju menaikan harga
dan cukai rokok untuk membiayai defisit BPJS Kesehatan," tambahnya. Ia
yakin mekanisme ini adalah cara yang paling andal untuk meningkatkan
dana JKN. (Arman Maulana Azis)